Monday, March 12, 2018

Tiga Jebakan Inovasi


Kita sering mendengar bagaimana perusahaan-perusahaan besar gagal bersaing karena tidak mampu berinovasi. Kenyataannya, perusahaan tersebut selalu mengkampanyekan pentingnya inovasi. Dengan resource yang tersedia, mereka terus melakukan development dan mengembangkan orang-orangnya dalam pelatihan inovasi. Termasuk memfasilitasi proyek-proyek inovasi. Tapi apa yang sebenarnya membuat mereka gagal berinovasi? Karena mereka tidak menyadari adanya 3 jebakan inovasi.  

Jebakan inovasi adalah jebakan  yang dialami oleh innovator di perusahaan corporate yang merupakan market leader. Corporate ini adalah penguasa pasar dan memiliki produk yang sangat bagus, memiliki brand yang kuat, dan memiliki operation yang hebat. Mereka selalu dituntut untuk meningkatkan revenue setiap tahunnya dengan memperluas market. Mereka sangat mencintai produknya dan memiliki ikatan emosional atas terciptanya produk tersebut. Baik dikalangan management dan R&D mereka sangat mengagungkan produk tersebut. Mereka menghadapi dilemma , dimana inovasi baru atau teknologi baru yang mereka kembangkan akan menghasilkan produk inovasi baru yang justru akan menggantikan produk lama mereka. Selain rasa sayang terhadap produk mereka, masalah lainnya adalah produk baru ini akan menggerus pasar dari produk lama mereka. Sehingga revenue dari produk lama mereka yang selama ini merupakan cash cow utama dari portfolio mereka tidak akan growth. Justru akan berkurang dengan kemunculan produk baru tersebut. Hal inilah yang menjadikan corporate melakukan inovasi setengah hati. Saya pernah merasakan berada di posisi department R&D untuk mengembangkan produk-produk baru. Kita memperlakukan produk baru seperti ibu menyayangi bayinya. Kita terlibat mulai dari konsep design, membuat prototypenya sendiri, menjalankan prosesnya sendiri, dan bahkan pernah beberapa malam tidak pulang ke rumah karena menjaga pembuatan prototype tersebut. Tidak semua produk baru berhasil di pasar, dan saat melihat produk baru kita sukses di pasar adalah kepuasan luar biasa dari seorang product development. Kerjakeras seakan terbayar dengan suksesnya produk tersebut di pasar. Disinilah muncul ikatan emotional tersebut. Produk laksana seorang bayi. Demikian cintanya kita pada produk tersebut. Dan tidak rela jika ada yang menggantikan produk itu sebagai legacy kita. Produk itu adalah bagian dari sejarah perusahaan dan bagian dari hati kita.

Selain karena sangat mencintai produknya, masalah yang kedua adalah corporate besar yang memiliki struktur organisasi yang massif. Tingkatan organisasi sedemikian banyak untuk mengakomodasi semuanya sehingga tercipta birokrasi yang kokoh. Birokrasi yang dimaksudkan untuk memitigasi resiko dan juga untuk memudahkan fungsi pengawasan, tapi justru berdampak ke inovasi karena budaya birokratis dimana proses pengambilan keputusan membutuhkan persetujuan banyak pihak. Dan keputusan-keputusan penting terkait inovasi produk baru harus melalui tingkatan birokrasi organisasi sebuah korporate. Birokrasi menjadi budaya penghalang inovasi. Inovasi harus memberikan ruang untuk orang mengambil keputusan dengan cepat. Mengijinkan seseorang untuk berbuat salah dalam bereksperiment. Memungkinkan orang untuk gagal dan memulai lagi. Dan kesulitan yang ditemui dapat dibantu diselesaikan dengan segera. Budaya seperti ini hanya muncul di perusahaan startup kecil dengan jumlah orang yang terbatas. Sehingga komunikasi berjalan dengan lancar dan dinamis. Tercipta keterbukaan pada semua anggota dan muncul rasa saling mempercayai. Tidak semua keputusan harus mendapat persetujuan management, beberapa keputusan dapat diambil segera untuk mempercepat hasil inovasi. Budaya inovasi seperti ini yang hilang di perusahaan korporate besar.

Satu hal lagi yang sangat penting adalah, konsep dasar inovasi produk baru yang bersifat S curve. Konsep ini disampaikan oleh Clayton Christensen tahun 1997.  Dimana value yang diberikan kepada pelanggan adalah mengikuti pola grafik S curve. Yaitu pada awal inovasi, value yang diberikan masih sangat kecil. Setelah beberapa kali iterasi dan eksperimen, value ini pada awalnya masih flat, tetapi setelah  masuk kebeberapa pengembangan, maka inovasi akan masuk ke fase eksponensial dimana value yang diberikan ke pelanggan akan meningkat sangat drastic. Disinilah banyak masuk early adopters dan perusahaan akan benar-benar menikmati hasil dari inovasi tersebut. Perusahaan yang paling dikenal adalah mereka yg ada di fase tersebut dan brandnya akan diingat. Sampai akhirnya S curve akan masuk fase ketiga yaitu fase akhir saturasi dimana value yang diberikan ke pelanggan akan kembali flat meskipun setelah dilakukan beberapa pengembangan atas inovasi tersebut. Inilah jebakan inovasi yang dialami oleh perusahaan korporate. Mereka mampu mengenalkan teknologi baru dengan inovasinya, tapi masih sangat sedikit value yang diberikan ke pelanggan. Sayangnya, mereka belum segera sampai ke fase eksponensial, mereka kalah cepat dengan perusahaan yang lebih kecil yang bukan competitor mereka dan bukan dari industry yang sama. Tetapi perusahaan kecil ini melakukan eksperimen dan iterasi yang jauh lebih cepat untuk sampai pada fase eksponensial. Sehingga mereka inilah yang akhirnya mendeliver produk dengan real value yang signifikan bagi pelanggan dan mereka ini akan menikmati gain sesungguhnya dari inovasi tersebut. Sampai akhirnya inovasi cycle pada titik teratas, perusahaan korporate sudah mulai menyadari bahwa situasi sudah berubah dan mereka harus menciptakan inovasi serupa. Tapi begitu perusahaan korporate sang market leader ini sudah siap dengan inovasi serupa, maka inovasi cyclenya akan masuk ke fase akhir saturasi, dimana value yang diberikan ke pelanggan tidak akan meningkat secara eksponensial tapi justru cenderung flat. Gain yang diberikan relative lebih kecil. Dan mereka akan sadar bahwa mereka bukan market leader lagi. Mereka akan kalah oleh produk substitusi bukan dari pesaing mereka. Tapi justru dari perusahaan kecil yang bukan dari industry yang sama. Ancaman itu datang dari arah yang tidak pernah diduga sama sekali, dan begitu ancaman tersebut hadir, semuanya sudah terlambat. Inilah yang disebut dengan DISRUPTION.

Mari kita lihat beberapa fenomena perusahaan market leader berikut ini. Kodak adalah penguasa pasar untuk kamera dan film. Mereka jauh mengalahkan pesaing-pesaingnya. Pemimpin pasar kamera dan film paling terkenal di dunia. Sejatinya Kodak adalah yang pertama menemukan inovasi kamera digital. Tetapi  karena kecintaannya pada produk yang sudah ada, dan tidak mau produk mereka tergerus marketnya, mereka tidak focus dalam mengembangkan inovasi tersebut. Justru mereka yakin bahwa produk yang ada akan terus bertumbuh. Sampai akhirnya begitu teknologi kamera digital sudah mulai berkembang pesat dan banyak early adopternya, pelanggan mulai merasakan value yang sesungguhnya dari kamera digital. Kodak justru tidak merasakan buahnya. Begitu Kodak sadar dan mulai mengembangkan bisnis kamera digital, segalanya sudah terlambat. Kodak sudah bukan lagi pemimpin pasar. Kini Kodak sudah melepas bisnis kameranya. Perusahaan yang sedemikian sangat besar akhirnya runtuh. Dan sekarang Kodak hanya memiliki bisnis bahan kimia.
Raksasa korporate lainnya adalah Nokia. Kita tentu mengenal handphone nokia sejuta umat yaitu N3210. Ini adalah handphone legendaris dari Nokia. Dan juga seri lain seperti Nokia pisang dan Nokia layar biru N5210. Nokia adalah perusahaan handphone raksasa dari finlandia. Memiliki nama yang sangat besar dan merajai pasar handphone di seluruh dunia. Pada saat system operasi Android dikenalkan, Nokia hanya menganggap itu laksana semut kecil yang akan mati jika diinjak. Nokia terlalu sombong dan angkuh untuk menggunakan system operasi Android pada handphone mereka. OS Android memungkinkan untuk membuat aplikasi smartphone yang dikembangkan secara opensource oleh developer diseluruh dunia. Dan sekarang kita tahu bahwa akhirnya system Androidlah yang menguasai pasar handphone. Dan Nokia hanya bisa meratapi mengapa mereka tidak mengadosi system tersebut. Diakhir kehancurannya, Nokia sempat mengenalkan handphone Nokia dengan system operasi Android. Tetapi semuanya sudah terlambat. Nokia bangkrut, dan sekarang nama Nokia sudah menjadi milik perusahaan HMD global.
Sony adalah pemimpin pasar elektronik dunia dengan produk andalannya Walkman, Discman, dan TV. Sampai akhirnya Apple melakukan inovasi dengan mengenalkan pemutar musik ipod, sebuah inovasi untuk menyimpan lagu dalam bentuk file mp3 dengan player berukuran sangat kecil dan mampu menampung ribuan lagu. Bentuk desainnya yang indah mampu memikat banyak pengguna. Jutaan pengguna mulai meninggalkan Sony Walkman. Seketika itu juga Apple menjadi market leader mengalahkan Sony. Meskipun pada saat itu Steve Jobs baru kembali bergabung ke Apple tahun 1997 setelah sebelumnya dipecat dari Apple, perusahaan yang dia dirikan. Sejatinya divisi pengembangan Sony sudah menyiapkan penyimpanan music dalam format file sebelum ipod, tapi Apple yg justru meraih kesuksesannya lewat ipod. Sedangkan TV tabung Sony yang dikenal dengan Trinitron akhirnya kalah dengan teknologi TV layar datar LCD. Pada awal kemunculannya memang banyak kekurangan pada TV LCD. Terutama pada kualitas gambarnya. Tetapi setelah beberapa kali pengembangan teknologi akhirnya kualitasnya menjadi semakin bagus. Dan berevolusi menjadi TV LED. Samsung menjadi penguasa pasar di Televisi dan akhirnya menjadi raksasa Elektronik di dunia. Mengalahkan Sony yang sebelumnya menjadi penguasa pasar.  
Lihatlah juga inovasi yang dilakukan Apple dengan mengeluarkan produk ipad. Tablet ini dengan ganasnya memakan pasar PC desktop yang dulu merajai pasar. Lihat bagaimana Elon Musk dengan inovasi Tesla membuat mobil listrik dan mobil autonomous. Mampu menjual mobil meskipun statusnya baru prototype dan orang harus menunggu indent 2 tahun untuk produksi massal. Mengacak-acak pasar Toyota sang raja. Di dunia digital kita melihat inovasi dari Facebook sebagai media sosial yang mampu merebut pasar iklan dari media cetak. Alibaba menjadi penguasa ecommerce dengan mengalahkan retail tradisional. Youtube merebut pasar media TV. Airbnb mampu mengalahkan valuasi perusahaan hotel-hotel kelas dunia.   
Di dalam negeri kita mengenal bagaimana bluebird sebagai perusahaan taksi yang dulu mampu mendominasi menjadi market leader mengalahkan semua pesaingnya. Dengan kemampuan manajemen yang handal, bluebird terus tumbuh dan memiliki jaringan di banyak kota-kota besar di tanah air. Sampai akhirnya entah darimana tiba-tiba muncul era taksi online. Seketika itu juga pendapatan bluebird langsung turun drastis, supirnya pun banyak berpindah ke taksi online, dan harga sahamnya jatuh bebas. Bluebird akhirnya bereaksi dengan menciptakan aplikasi taksi bluebird, dengan fitur yang hebat termasuk pemesanan online dan GPS untuk mendeteksi posisi kedatangan taksi. Tapi toh aplikasi ini tetap saja gagal mendongkrak kinerja bluebird. Sampai akhirnya bluebird tidak bisa bersaing lagi dan terpaksa bekerjasama dengan gojek dengan aplikasi go bluebird. Gojek yang dulunya hanya startup  kecil sekarang menjelma menjadi perusahaan unicorn dengan valuasi diatas 50 trilliun rupiah. Dengan dukungan penuh dari investor raksasa asing seperti Tencent dan Google.
Pada masa sekarang ini, inovasi seperti hantu yang tiba-tiba muncul. Pesaing perusahaan raksasa market leader bukan dari perusahaan competitor di industry yang sama, tapi dari perusahaan kecil yang tidak terlihat dan entah darimana dengan membawa inovasi baru kemudian melesat sangat cepat merebut pasarnya dengan tiba-tiba. Dan perusahaan raksasa tersebut perlahan-lahan lemas, ambruk, masuk ICU, sampai akhirnya mengalami kematian. Perusahaan raksasa tersebut terperangkap dalam jebakan inovasi yang mereka buat sendiri. Selamat datang di Era Disruptive. Inovasi atau Mati.
       

1 comment:

  1. BetMGM launches Michigan-focused online sports betting
    BetMGM 창원 출장안마 is launching an online sportsbook in Michigan and Michigan, 통영 출장샵 where players can bet online, in 대구광역 출장샵 the form of $1,000 하남 출장안마 bets. The 군산 출장샵 online betting app

    ReplyDelete