Kita sering mendengar bagaimana perusahaan-perusahaan besar gagal bersaing karena tidak mampu berinovasi. Kenyataannya, perusahaan tersebut selalu mengkampanyekan pentingnya inovasi. Dengan resource yang tersedia, mereka terus melakukan development dan mengembangkan orang-orangnya dalam pelatihan inovasi. Termasuk memfasilitasi proyek-proyek inovasi. Tapi apa yang sebenarnya membuat mereka gagal berinovasi? Karena mereka tidak menyadari adanya 3 jebakan inovasi.
Jebakan inovasi adalah jebakan yang dialami oleh innovator di perusahaan
corporate yang merupakan market leader. Corporate ini adalah penguasa pasar dan
memiliki produk yang sangat bagus, memiliki brand yang kuat, dan memiliki
operation yang hebat. Mereka selalu dituntut untuk meningkatkan revenue setiap
tahunnya dengan memperluas market. Mereka sangat mencintai produknya dan
memiliki ikatan emosional atas terciptanya produk tersebut. Baik dikalangan
management dan R&D mereka sangat mengagungkan produk tersebut. Mereka
menghadapi dilemma , dimana inovasi baru atau teknologi baru yang mereka
kembangkan akan menghasilkan produk inovasi baru yang justru akan menggantikan
produk lama mereka. Selain rasa sayang terhadap produk mereka, masalah lainnya
adalah produk baru ini akan menggerus pasar dari produk lama mereka. Sehingga
revenue dari produk lama mereka yang selama ini merupakan cash cow utama dari portfolio
mereka tidak akan growth. Justru akan berkurang dengan kemunculan produk baru
tersebut. Hal inilah yang menjadikan corporate melakukan inovasi setengah hati.
Saya pernah merasakan berada di posisi department R&D untuk mengembangkan
produk-produk baru. Kita memperlakukan produk baru seperti ibu menyayangi
bayinya. Kita terlibat mulai dari konsep design, membuat prototypenya sendiri,
menjalankan prosesnya sendiri, dan bahkan pernah beberapa malam tidak pulang ke
rumah karena menjaga pembuatan prototype tersebut. Tidak semua produk baru
berhasil di pasar, dan saat melihat produk baru kita sukses di pasar adalah kepuasan
luar biasa dari seorang product development. Kerjakeras seakan terbayar dengan
suksesnya produk tersebut di pasar. Disinilah muncul ikatan emotional tersebut.
Produk laksana seorang bayi. Demikian cintanya kita pada produk tersebut. Dan
tidak rela jika ada yang menggantikan produk itu sebagai legacy kita. Produk
itu adalah bagian dari sejarah perusahaan dan bagian dari hati kita.
Selain karena sangat mencintai produknya, masalah yang kedua
adalah corporate besar yang memiliki struktur organisasi yang massif. Tingkatan
organisasi sedemikian banyak untuk mengakomodasi semuanya sehingga tercipta
birokrasi yang kokoh. Birokrasi yang dimaksudkan untuk memitigasi resiko dan
juga untuk memudahkan fungsi pengawasan, tapi justru berdampak ke inovasi
karena budaya birokratis dimana proses pengambilan keputusan membutuhkan
persetujuan banyak pihak. Dan keputusan-keputusan penting terkait inovasi produk
baru harus melalui tingkatan birokrasi organisasi sebuah korporate. Birokrasi
menjadi budaya penghalang inovasi. Inovasi harus memberikan ruang untuk orang
mengambil keputusan dengan cepat. Mengijinkan seseorang untuk berbuat salah
dalam bereksperiment. Memungkinkan orang untuk gagal dan memulai lagi. Dan
kesulitan yang ditemui dapat dibantu diselesaikan dengan segera. Budaya seperti
ini hanya muncul di perusahaan startup kecil dengan jumlah orang yang terbatas.
Sehingga komunikasi berjalan dengan lancar dan dinamis. Tercipta keterbukaan
pada semua anggota dan muncul rasa saling mempercayai. Tidak semua keputusan
harus mendapat persetujuan management, beberapa keputusan dapat diambil segera
untuk mempercepat hasil inovasi. Budaya inovasi seperti ini yang hilang di
perusahaan korporate besar.
Satu hal lagi yang sangat penting adalah, konsep dasar
inovasi produk baru yang bersifat S curve. Konsep ini disampaikan oleh Clayton
Christensen tahun 1997. Dimana value
yang diberikan kepada pelanggan adalah mengikuti pola grafik S curve. Yaitu
pada awal inovasi, value yang diberikan masih sangat kecil. Setelah beberapa
kali iterasi dan eksperimen, value ini pada awalnya masih flat, tetapi setelah masuk kebeberapa pengembangan, maka inovasi
akan masuk ke fase eksponensial dimana value yang diberikan ke pelanggan akan
meningkat sangat drastic. Disinilah banyak masuk early adopters dan perusahaan
akan benar-benar menikmati hasil dari inovasi tersebut. Perusahaan yang paling
dikenal adalah mereka yg ada di fase tersebut dan brandnya akan diingat. Sampai
akhirnya S curve akan masuk fase ketiga yaitu fase akhir saturasi dimana value
yang diberikan ke pelanggan akan kembali flat meskipun setelah dilakukan
beberapa pengembangan atas inovasi tersebut. Inilah jebakan inovasi yang dialami
oleh perusahaan korporate. Mereka mampu mengenalkan teknologi baru dengan
inovasinya, tapi masih sangat sedikit value yang diberikan ke pelanggan.
Sayangnya, mereka belum segera sampai ke fase eksponensial, mereka kalah cepat
dengan perusahaan yang lebih kecil yang bukan competitor mereka dan bukan dari industry
yang sama. Tetapi perusahaan kecil ini melakukan eksperimen dan iterasi yang
jauh lebih cepat untuk sampai pada fase eksponensial. Sehingga mereka inilah
yang akhirnya mendeliver produk dengan real value yang signifikan bagi
pelanggan dan mereka ini akan menikmati gain sesungguhnya dari inovasi
tersebut. Sampai akhirnya inovasi cycle pada titik teratas, perusahaan
korporate sudah mulai menyadari bahwa situasi sudah berubah dan mereka harus
menciptakan inovasi serupa. Tapi begitu perusahaan korporate sang market leader
ini sudah siap dengan inovasi serupa, maka inovasi cyclenya akan masuk ke fase
akhir saturasi, dimana value yang diberikan ke pelanggan tidak akan meningkat
secara eksponensial tapi justru cenderung flat. Gain yang diberikan relative lebih
kecil. Dan mereka akan sadar bahwa mereka bukan market leader lagi. Mereka akan
kalah oleh produk substitusi bukan dari pesaing mereka. Tapi justru dari
perusahaan kecil yang bukan dari industry yang sama. Ancaman itu datang dari
arah yang tidak pernah diduga sama sekali, dan begitu ancaman tersebut hadir,
semuanya sudah terlambat. Inilah yang disebut dengan DISRUPTION.
Mari kita lihat beberapa fenomena perusahaan market leader berikut
ini. Kodak adalah penguasa pasar untuk kamera dan film. Mereka jauh mengalahkan
pesaing-pesaingnya. Pemimpin pasar kamera dan film paling terkenal di dunia.
Sejatinya Kodak adalah yang pertama menemukan inovasi kamera digital.
Tetapi karena kecintaannya pada produk
yang sudah ada, dan tidak mau produk mereka tergerus marketnya, mereka tidak focus
dalam mengembangkan inovasi tersebut. Justru mereka yakin bahwa produk yang ada
akan terus bertumbuh. Sampai akhirnya begitu teknologi kamera digital sudah
mulai berkembang pesat dan banyak early adopternya, pelanggan mulai merasakan
value yang sesungguhnya dari kamera digital. Kodak justru tidak merasakan
buahnya. Begitu Kodak sadar dan mulai mengembangkan bisnis kamera digital,
segalanya sudah terlambat. Kodak sudah bukan lagi pemimpin pasar. Kini Kodak sudah
melepas bisnis kameranya. Perusahaan yang sedemikian sangat besar akhirnya
runtuh. Dan sekarang Kodak hanya memiliki bisnis bahan kimia.
Raksasa korporate lainnya adalah Nokia. Kita tentu mengenal
handphone nokia sejuta umat yaitu N3210. Ini adalah handphone legendaris dari
Nokia. Dan juga seri lain seperti Nokia pisang dan Nokia layar biru N5210. Nokia
adalah perusahaan handphone raksasa dari finlandia. Memiliki nama yang sangat
besar dan merajai pasar handphone di seluruh dunia. Pada saat system operasi
Android dikenalkan, Nokia hanya menganggap itu laksana semut kecil yang akan
mati jika diinjak. Nokia terlalu sombong dan angkuh untuk menggunakan system operasi
Android pada handphone mereka. OS Android memungkinkan untuk membuat aplikasi
smartphone yang dikembangkan secara opensource oleh developer diseluruh dunia. Dan
sekarang kita tahu bahwa akhirnya system Androidlah yang menguasai pasar
handphone. Dan Nokia hanya bisa meratapi mengapa mereka tidak mengadosi system tersebut.
Diakhir kehancurannya, Nokia sempat mengenalkan handphone Nokia dengan system operasi
Android. Tetapi semuanya sudah terlambat. Nokia bangkrut, dan sekarang nama
Nokia sudah menjadi milik perusahaan HMD global.
Sony adalah pemimpin pasar elektronik dunia dengan produk
andalannya Walkman, Discman, dan TV. Sampai akhirnya Apple melakukan inovasi
dengan mengenalkan pemutar musik ipod, sebuah inovasi untuk menyimpan lagu
dalam bentuk file mp3 dengan player berukuran sangat kecil dan mampu menampung
ribuan lagu. Bentuk desainnya yang indah mampu memikat banyak pengguna. Jutaan
pengguna mulai meninggalkan Sony Walkman. Seketika itu juga Apple menjadi
market leader mengalahkan Sony. Meskipun pada saat itu Steve Jobs baru kembali
bergabung ke Apple tahun 1997 setelah sebelumnya dipecat dari Apple, perusahaan
yang dia dirikan. Sejatinya divisi pengembangan Sony sudah menyiapkan
penyimpanan music dalam format file sebelum ipod, tapi Apple yg justru meraih
kesuksesannya lewat ipod. Sedangkan TV tabung Sony yang dikenal dengan
Trinitron akhirnya kalah dengan teknologi TV layar datar LCD. Pada awal
kemunculannya memang banyak kekurangan pada TV LCD. Terutama pada kualitas
gambarnya. Tetapi setelah beberapa kali pengembangan teknologi akhirnya
kualitasnya menjadi semakin bagus. Dan berevolusi menjadi TV LED. Samsung
menjadi penguasa pasar di Televisi dan akhirnya menjadi raksasa Elektronik di
dunia. Mengalahkan Sony yang sebelumnya menjadi penguasa pasar.
Lihatlah juga inovasi yang dilakukan Apple dengan
mengeluarkan produk ipad. Tablet ini dengan ganasnya memakan pasar PC desktop
yang dulu merajai pasar. Lihat bagaimana Elon Musk dengan inovasi Tesla membuat
mobil listrik dan mobil autonomous. Mampu menjual mobil meskipun statusnya baru
prototype dan orang harus menunggu indent 2 tahun untuk produksi massal.
Mengacak-acak pasar Toyota sang raja. Di dunia digital kita melihat inovasi
dari Facebook sebagai media sosial yang mampu merebut pasar iklan dari media
cetak. Alibaba menjadi penguasa ecommerce dengan mengalahkan retail
tradisional. Youtube merebut pasar media TV. Airbnb mampu mengalahkan valuasi
perusahaan hotel-hotel kelas dunia.
Di dalam negeri kita mengenal bagaimana bluebird sebagai
perusahaan taksi yang dulu mampu mendominasi menjadi market leader mengalahkan
semua pesaingnya. Dengan kemampuan manajemen yang handal, bluebird terus tumbuh
dan memiliki jaringan di banyak kota-kota besar di tanah air. Sampai akhirnya
entah darimana tiba-tiba muncul era taksi online. Seketika itu juga pendapatan
bluebird langsung turun drastis, supirnya pun banyak berpindah ke taksi online,
dan harga sahamnya jatuh bebas. Bluebird akhirnya bereaksi dengan menciptakan
aplikasi taksi bluebird, dengan fitur yang hebat termasuk pemesanan online dan
GPS untuk mendeteksi posisi kedatangan taksi. Tapi toh aplikasi ini tetap saja
gagal mendongkrak kinerja bluebird. Sampai akhirnya bluebird tidak bisa
bersaing lagi dan terpaksa bekerjasama dengan gojek dengan aplikasi go
bluebird. Gojek yang dulunya hanya startup
kecil sekarang menjelma menjadi perusahaan unicorn dengan valuasi diatas
50 trilliun rupiah. Dengan dukungan penuh dari investor raksasa asing seperti
Tencent dan Google.
Pada masa sekarang ini, inovasi seperti hantu yang tiba-tiba
muncul. Pesaing perusahaan raksasa market leader bukan dari perusahaan competitor
di industry yang sama, tapi dari perusahaan kecil yang tidak terlihat dan entah
darimana dengan membawa inovasi baru kemudian melesat sangat cepat merebut
pasarnya dengan tiba-tiba. Dan perusahaan raksasa tersebut perlahan-lahan lemas,
ambruk, masuk ICU, sampai akhirnya mengalami kematian. Perusahaan raksasa
tersebut terperangkap dalam jebakan inovasi yang mereka buat sendiri. Selamat
datang di Era Disruptive. Inovasi atau Mati.
BetMGM launches Michigan-focused online sports betting
ReplyDeleteBetMGM 창원 출장안마 is launching an online sportsbook in Michigan and Michigan, 통영 출장샵 where players can bet online, in 대구광역 출장샵 the form of $1,000 하남 출장안마 bets. The 군산 출장샵 online betting app